KFI Dan IGI Gelar Lokakarya Bahas Isu Kelaparan Tersembunyi -->

Iklan Semua Halaman

 


Jika ada yang mendapat intimidasi atau tindakan tidak menyenangkan lainnya dari anggota GNI, silahkan lapor ke redaksigni@gmail.com, untuk pengiriman berita kegiatan kampus, sekolah , sosial kemasyarakatan, lainnya silahkan di nomor center kami

 




KFI Dan IGI Gelar Lokakarya Bahas Isu Kelaparan Tersembunyi

3/27/2021

 


GlobalNewsIndonesia- Borong NTT, Yayasan Kegizian untuk Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia (KFI) dan Institut Gizi Indonesia (IGI) menyelenggarakan lokakarya internasional virtual pada 20 dan 22 Maret 2021.


Lokakarya tersebut secara spesifik membahas tentang masalah kekurangan gizi mikro, khususnya zat besi, iodium, seng atau zinc, vitamin A, serta asam folat yang terjadi dalam skala global dan nasional. Fenomena ini dikenal sebagai "kelaparan tersembunyi".


Di lansir dari CNN Indonesia Rabu,(24/3/2021) Bertema 'Gizi Mikro Sebagai Strategi Tandem dalam Pemberian Vaksinasi Covid-19 dan Peningkatan Penurunan Stunting,


Peranan Suplementasi Gizi Mikro Multiple dan Fortifikasi Pangan', lokakarya yang menghadirkan 20 pakar gizi, pakar pangan, serta pakar kesehatan masyarakat dari dalam dan luar negeri itu bertujuan,


 Mendukung pembuat kebijakan di pemerintah dan industri terkait kewajiban fortifikasi makanan bagi kesehatan dan kesejahteraan orang miskin, terlebih pada 1.000 hari pertama kehidupan.


Secara umum, ada dua pendekatan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi mikro dalam situasi di mana konsumsi makanan tak mencukupi kebutuhan vitamin dan mineral. Pertama,


Adalah pendekatan berbasis pangan dengan fortifikasi makanan dan biofortifikasi, serta bantuan pangan atau suplemen. Kedua, dengan pendekatan berbasis nonpangan, yakni penggunaan suplementasi pil, atau kapsul vitamin dan mineral.


Guliran diskusi dalam lokakarya tak hanya terkait penurunan stunting, namun juga tentang manfaatnya terhadap vaksinasi Covid-19. Pada hari pertama, Ketua Dewan Pakar IGI Prof. Dr. Sangkot Marzuki selaku pembicara utama terlebih dahulu memaparkan sejarah vitamin di Indonesia,


Diikuti presentasi oleh Prof. Keith P. West dan Dr. Klaus Kraemer dari Universitas Johns Hopkins, Dr. Anuraj Shangkar dari Universitas Oxford, serta anggota MMS Task Force Dr. Clayton Ajello.


Saat itu, dijelaskan tentang aspek teknis multiple micronutrient supplementation (MMS) yang penting dalam 1.000 hari pertama kehidupan yang sedang dan akan dilaksanakan di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.


Hal lain yang juga dibahas di hari pertama adalah konsensus tentang pemahaman spesifikasi UNIMMAP beserta produksinya; rasional ilmiah dan hasil-hasil uji efikasi dan efektivitas MMS beserta keunggulan MMS terhadap Tablet Tambah Darah (TTD); juga aspek dan pengalaman yang dialami negara-negara yang telah mengalihkan TTD menjadi MMS.


Hari kedua lokakarya mengangkat isu "kelaparan tersembunyi", yang berdampak pada tingginya angka kematian balita serta hambatan pertumbuhan dan perkembangan intelektual (stunting). Hal ini umumnya dialami oleh anak dari keluarga tak mampu.


Topik diskusi diangkat seputar fortifikasi pangan yang wajib dan biofortikasi sebagai komponen program gizi nasional yang bertujuan memperbaiki status gizi kelompo miskin yang diindikasikan oleh penurunan stunting.


Fortifikasi makanan adalah penggunaan teknologi untuk memperkaya makanan dengan vitamin dan mineral tertentu guna mencegah kekurangan gizi mikro.


Diungkapkan, dunia menyepakati bahwa fortifikasi pangan yang wajib telah terbukti sebagai terobosan dengan upaya kecil untuk mencegah kekurangan gizi mikro. Di Indonesia sendiri, fortifikasi pangan belum menjadi prioritas program gizi.


Sementara biofortifikasi adalah teknologi pengayaan kandungan zat gizi dengan nilai pemanfaatan biologis dalam tubuh yang lebih tinggi dari fortifikasi biasa. Beberapa cara yang digunakan, antara lain teknologi biologi, pemuliaan tanaman konvensional, serta teknologi pertanian lainnya.


Hadir sebagai pembicara pertama adalah pemegang World Food Prize Laurate 2018 Dr. David Nabarro yang berbicara tentang SDGs, sistem pangan,


Serta pentingnya asupan gizi yang baik pada periode 1.000 hari pertama kehidupan terutama di masa pandemi; dilanjutkan oleh pemegang World Food Prize Laurate 2016 Howarth Bouis selaku pemimpin penelitian penemuan teknologi biofortikasi yang mendukung makanan pokok agar tak hanya kaya karbohidrat, tetapi juga kaya vitamin dan mineral.


Bouis mengungkapkan, meski pola makanan tidak beragam karena daya beli yang rendah, pangan biofortifikasi akan cukup memadai guna mengurangi bahaya kurang gizi.


Diskusi lantas dilanjutkan oleh pemegang World Food Prize Laurate Lawrence Haddad yang memaparkan alasan fortifikasi makanan merupakan intervensi gizi yang memiliki peran besar dalam masa pandemi.


Sementara Direktur Gizi dari Harvestplus, Washington, Erick Boy menjelaskan tentang dasar riset gizi yang menjadi bukti biofortifikasi makanan pokok. Lokakarya juga dihadiri oleh pencetus sejumlah inisiatif gizi internasional Dr. Venkatesh Mannar, yang bicara soal peningkatan fortifikasi garam dengan zat besi dan iodium sebagai solusi kekurangan zat besi.(Wens)