Header Ads Widget

GOLPUT Sama Dengan Mengingkari Sejarah Reformasi '98

 


Globalnewsindonesia.com,- Purwakarta- Suka tidak suka, saat ini bangsa Indonesia sedang hidup di alam Era Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998.


Beberapa produk dari Reformasi dalam sistem ketatanegaraan, selain lahirnya undang undang Otonomi Daerah untuk mendesentralisasi kewenangan pengelolaan daerah, di dalam hal menentukan format kepemimpinan nasional pun mengalami perubahan.


Salah satu tuntutan Reformasi adalah mempercepat pemilu dari yang semula dijadwalkan pada 2002 tetapi dimajukan pada 1999.


Pemilihan umum legislatif  1999 menjadi salah satu peristiwa yang membentuk sejarah Indonesia. 


Proses pemilu 1999 terjadi akibat keputusan Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya pada 21 Mei 1998.


Keputusan itu diambil setelah terjadi kerusuhan di sejumlah kota di Indonesia dan gelombang demonstrasi akibat tekanan krisis ekonomi dan gerakan menuntut reformasi pemerintahan.


Selanjutnya Era Reformasi juga menginspirasi banyak perbaikan dalam hal ketatanegaraan, melalui serangkaian amandemen Undang Undang Dasar 1945 , pada akhirnya pada tahun 2004 dilaksanakan untuk pertama kalinya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh Rakyat.


Salah satu Eksponen Mahasiswa pada Reformasi '98, Aa Komara Cakradiparta menuturkan testimoni dan harapannya.


" Era Reformasi yang kita nikmati sekarang ini, di mana kebebasan ber-ekspresi / berpendapat serta hal hal lain yang tidak mungkin bisa dilakukan pada Era Orde Baru, tentu telah melalui proses yang sangat "mahal" yang nyaris memporakporandakan kehidupan berbangsa, begitu banyak jiwa berguguran yang menjadi "Martir Reformasi" baik dari kalangan mahasiswa maupun rakyat, termasuk mereka yang tidak tahu apa apa yang menjadi korban kerusuhan oleh oknum yang ingin mencederai Kemurnian Gerakan Reformasi. 


Sampai di sini, tentu kita patut mensyukuri kehidupan berdemokrasi sebagai buah dari Reformasi, terus mencari bentuk terbaiknya.


Tentu masih banyak kekurangan dalam implementasinya, hasil Pemilu dari masa ke masa di Era Reformasi ini belum memenuhi ekspektasi masyarakat untuk mendapatkan pemimpin nasional maupun wakil rakyat yang ideal, namun perkembangan zaman terutama dengan munculnya sosial media, masyarakat tetap bisa menyuarakan aspirasinya untuk mendapat atensi para pengelola negara baik di eksekutif dan legislatif.


Atas dasar kesejarahan itu, Golput bukan pilihan terbaik karena sama dengan memberikan peluang bagi "orang orang tidak baik" menguasai sistem pemerintahan dan parlemen.


Pemandu para pemilih adalah Hati Nurani dan Akal nya, pilihlah yang paling sedikit *mudharat* nya, lihat Rekam Jejak setiap calon dalam Riwayat Pengabdiannya dalam aktivitas kemasyarakatan, pantau juga keilmuan / kompetensi nya agar ia tidak gagap dalam menjalankan roda pemerintahan di ranah eksekutif atau tidak gagap dalam mengadvokasi aspirasi masyarakat di ranah legislatif. Tentu kita juga mampu menganalisa, mana calon yang hanya akan memperkaya diri dan mana yang akan sungguh sungguh membela kepentingan rakyat.


Namun ingatlah bahwa Kita tidak sedang memilih "Malaikat", tak mungkin ada calon yang 100 persen sempurna, selalu ada saja minus nya. Kekurangan tersebut bukan lantas menjadi alasan untuk GOLPUT, karena bagi rakyat yang sejatinya Pemilik Kedaulatan di republik ini, Kita masih dapat mengontrol kinerja mereka melalui sosial media, membuat Mosi atau Petisi serta format lainnya, dan yang pasti jika dianggap mengecewakan dengan Tidak Memilih nya kembali di Pemilu berikutnya.


Semoga, Republik ini terus dianugerahi orang orang terbaik untuk mengisi kepemimpinan nasional di setiap jenjang dari pusat hingga daerah.


Dan setelah Pemilu, semua pihak kembali REKONSILIASI, karena dampak dari polarisasi atau dukung mendukung biasanya ber-efek pada silaturahmi, sebagian masyarakat kita ada yang belum dewasa, belum bisa menerima kemenangan atau kekalahan. Untuk itu upaya upaya Rekonsiliasi pasca Pemilu menjadi sangat penting agar bangsa ini tetap rukun dalam segala hal." Pungkas Komara. (Mjn)