Saat ini kondisi Sri Lanka sedang dilanda kebangkrutan akibat krisis ekonomi. Krisis tersebut diketahui telah memengaruhi kondisi politik juga dan disebut yang paling parah sejak Sri Lanka merdeka di 1948.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab krisis ekonomi di Sri Lanka sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia, di antaranya:
1. pemerintah Sri Lanka ketergantungan impor untuk bahan-bahan pertanian seperti pupuk dan bahan bakar;
2. Kenaikan harga komoditas global menyebabkan harga-harga kebutuhan ikut naik sehingga pemerintah Sri Lanka harus menanggung beban impor;
3. Nilai mata uang Sri Lanka terus melemah terhadap dolar;
4. dan cadangan devisa negara tersebut diketahui semakin menipis.
Cadangan devisa Sri Lanka mengalami penurunan beruntun selama tiga bulan terakhir sejak November tahun lalu. Pada Maret 2022, cadangan devisa Sri Lanka tercatat hanya US$ 1,72 miliar.
Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) mengumumkan telah gagal membayar utang luar negeri sebesar US$ 51 miliar pada Selasa 12 April 2022.
“Kami kehilangan kemampuan untuk membayar,” tegas Kepala CBSL Nandalal Weerasinghe dimuat Reuters.
“Kami harus fokus untuk mengimpor kebutuhan pokok. Bukan membayar utang luar negeri. Kita sudah sampai di titik membayar utang menjadi sangat menantang dan tidak mungkin.” tambah Nandalal.
Salah satu kreditur terbesar Negeri Ceylon tersebut adalah China.
Pemerintahnya mengaku telah berutang kepada China untuk proyek pembangunan infrastruktur sejak 2005, salah satunya adalah pembangunan pelabuhan Hambantota.
Total hutang Sri Lanka ke China sebesar US$ 8 miliar atau sekitar seperenam dari total utang luar negerinya.
Namun naasnya, pemerintah Sri Lanka mengaku beberapa proyek justru tidak memberikan manfaat ekonomi bagi negara. Bahkan, China justru minta jatah ekspor produk mereka senilai US$ 3,5 miliar ke Sri Lanka.
“Dari awal, kecerobohan meminjam dari China buat infrastruktur yang tak menguntungkan membuat negara itu di titik ini,” tulis laporan dari Hong Kong Post.
Sementara itu, didasarkan pada data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) periode Februari 2022, China menempati urutan keempat pemberi utang terbesar kepada Indonesia.
ULN Indonesia dari China sebesar US$ 20,78 miliar pada Februari 2022. Nilai tersebut naik 0,76 persen dari bulan sebelumnya.
ULN Indonesia dari sisi mata uang terbesar masih dalam US Dolar dengan nilai sebesar US$ 275 miliar. Posisi kedua ditempati euro dengan nilai ekuvalen US$ 25,15 miliar.
Sementara Yen Jepang dengan nilai US$ 24,82 miliar menempati urutan ketiga. Adapun yuan China berada di posisi keempat dengan nilai sebesar US$ 4,31 miliar.
Foto: Sri Lanka saat ini sedang mengalami bangkrut akibat krisis ekonomi yang menyerang pangan dan BBM akibat terlilit utang China. (detik.com)