Kabupaten Bulukumba Akan Gelar Event Bertaraf Nasional Temu Inklusi 2020 Mendatang -->

Iklan Semua Halaman

 


Jika ada yang mendapat intimidasi atau tindakan tidak menyenangkan lainnya dari anggota GNI, silahkan lapor ke redaksigni@gmail.com, untuk pengiriman berita kegiatan kampus, sekolah , sosial kemasyarakatan, lainnya silahkan di nomor center kami

 




Kabupaten Bulukumba Akan Gelar Event Bertaraf Nasional Temu Inklusi 2020 Mendatang

10/31/2019

Global News Indonesia-Bulukumba; Penyandang disabilitas acap kali menjadi korban diskriminasi ketika diperhadapkan dengan hukum. Baik pidana maupun perdata.

Hal itu menjadi momok bagi sebagian besar penyandang cacat. Sebab secara psikis, kondisi itu tambah merusak mental mereka.

Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIJP 2) mendorong LBH Makassar bersama Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulsel, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulsel, dan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulsel untuk mengagendakan seminar dan lokakarya atau Semiloka mengenai layanan inklusi bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum di Kabupaten Bulukumba, Sulsel.

Pemkab Bulukumba pun merespons agenda itu. Tercatat di Kabupaten Bulukumba menjadi daerah pertama di Sulawesi Selatan bagian selatan untuk penyelenggaraan seminar dan lokakarya itu. Di sana, menghadirkan narasumber dari unsur penegak hukum, organisasi penyandang disabilitas maupun Pemerintah Daerah, dalam hal ini SKPD dan stakeholder terkait.

Tujuannya sangat jelas, yakni penyuluhan hukum terkait hak-hak kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum kepada masyarakat. Di Bulukumba sendiri, kelompok rentan ini terbilang cukup besar jumlahnya, setidaknya ada 400an jiwa masuk dalam kategori kelompok rentan itu.

Bahkan di Bulukumba juga telah memiliki Perda Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas, yang salah satu isinya juga mengatur terkait tanggungjawab pemerintah daerah dalam mewujudkan layanan yang inklusi bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum.

"Semiloka ini dilandasi dengan kebutuhan akan sinergitas antar pemangku kepentingan, baik Pemerintah Daerah melalui organisasi perangkat daerah terkait, Institusi penegak hukum, organisasi bantuan hukum, organisasi masyarakat sipil lainnya untuk mewujudkan layanan peradilan yang inklusi, agar proses hukum memperhatikan karakteristik dan kebutuhan ragam disabilitas," kata Muhammad Fajar Akbar, seorang dari LBH Makassar, Selasa, 29 Oktober 2019.

"Dengan demikian, setiap penyandang disabilitas memperoleh perlakuan dan perlindungan hukum yang setara. Apalagi Kabupaten Bulukumba akan menjadi tuan rumah salah satu event bertaraf nasional yaitu Temu Inklusi 2020," lanjutnya.

Sudah menjadi kewajiban Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, tanpa terkecuali para penyandang cacat.

Di mana para penyandang cacat sebagai warga negara Indonesia punya kedudukan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sama untuk hidup maju, dan berkembang secara adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Para stakeholder telah menindaklanjuti dalam bentuk komitmen seperti upaya pembangunan sarana dan prasarana maupun upaya perbaikan layanan.

Aksesibilitas yang baik bukan berarti fasilitas mewah atau istimewa, melainkan terjangkau dan mendorong para penyandang cacat untuk mandiri dalam melakukan segala hal.

Senior Advisor Program AIJP 2, Muhammad Joni Yulianto menuturkan, semiloka rencananya akan diselenggarakan pada 29 sampai 30 Oktober 2019 di Aula Kantor Kemenag Bulukumba.

Peserta berasal dari perwakilan Pemerintah Daerah Bulukumba yaitu Setda, khususnya bagian hukum, dan OPD terkait seperti Dinsos, Dinkes, DP3A, P2TP2A, RSUD.

Perwakilan Institusi Penegak Hukum seperti PN, KEJARI, dan Polres, serta OBH lokal. Diikuti juga oleh perwakilan organisasi profesi seperti asosiasi Psikiater dan Psikologi serta Organisasi Advokat. Selain itu diikuti juga oleh organisasi penyandang disabilitas serta Paralegal.

Joni Yulianto menyebut, bentuk supporting di luar penegak hukum terhadap penyandang disabilitas, yakni trauma healing ketika proses peradilan usai. Sebab pemulihan psikis atau trauma tidak bisa selesai begitu saja.

"Di awal perlu ada assesment terkait kondisi penyandang disabilitas, tingkat traumanya seperti apa, tingkat disabilitasnya apa, maka assesment itu bisa dilakukan oleh profesional medis dan psikolog.

Kemudian nanti saat proses peradilan nanti dibutuhkan trauma healing, dibutuhkan juga nanti proses pemulihan setelah peradilan selesai," ujarnya.

"Biasanya jika menjadi korban bahwa traumanya tidak bisa hilang, itu butuh dipulihkan. Nah di situ peran psikolog, psikiater, medis. Kemudian juga paralegal dan organisasi penyandang disabilitas itu juga sangat penting mendampingi korban dan keluarga," jelas dia.(*) Abm