Pendidikan adalah hak dasar setiap anak bangsa. Ketika pemerintah menetapkan alokasi minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pendidikan, harapan besar yang muncul adalah tersedianya pendidikan yang benar-benar gratis dan berkualitas. Namun, realitas yang dihadapi oleh banyak wali murid justru berbeda. Biaya tambahan seperti pembelian seragam sekolah, buku pelajaran, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan berbagai keperluan sekolah lainnya masih membebani para orang tua. Pertanyaannya, mengapa hal ini masih terjadi jika sudah ada anggaran yang jelas dialokasikan?
Seharusnya, dengan pengelolaan anggaran yang baik, transparan, dan tepat sasaran, beban finansial tersebut tidak lagi menjadi masalah bagi masyarakat. APBD 20% untuk pendidikan harus mampu menghapuskan biaya-biaya tambahan seperti seragam, buku pelajaran, dan LKS yang selama ini menjadi beban rutin setiap tahun ajaran baru. Semua kebutuhan dasar tersebut seharusnya sudah menjadi bagian dari fasilitas yang disediakan oleh sekolah secara gratis, mengingat dana pendidikan yang besar telah dialokasikan untuk mencakup kebutuhan tersebut. Jika dana pendidikan dikelola dengan cermat, setiap anak akan mendapatkan haknya untuk belajar tanpa hambatan biaya tambahan.
Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap rupiah dari anggaran pendidikan digunakan dengan benar dan berdampak langsung pada siswa. Dana yang tersedia seharusnya difokuskan pada penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai, seperti seragam, buku, dan alat tulis, serta memperbaiki sarana prasarana sekolah. Manajemen keuangan yang transparan dan pengawasan publik yang kuat menjadi kunci penting agar APBD 20% ini benar-benar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Tanpa manajemen yang baik, alokasi dana tersebut akan mudah terserap oleh hal-hal yang tidak sesuai dengan kebutuhan pendidikan dasar.
Transparansi dalam pengelolaan APBD bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga hak masyarakat untuk mendapatkan akses informasi mengenai penggunaan dana tersebut. Masyarakat, khususnya wali murid, perlu dilibatkan secara aktif dalam pengawasan anggaran ini. Partisipasi komite sekolah dan komunitas pendidikan akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa dana pendidikan tidak disalahgunakan atau digunakan untuk kepentingan lain yang tidak relevan. Dengan begitu, setiap dana yang ada akan benar-benar diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan meringankan beban wali murid.
Jika APBD 20% untuk pendidikan dikelola secara transparan dan efektif, wali murid tidak lagi perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk seragam, buku pelajaran, LKS, dan kebutuhan sekolah lainnya. Setiap anak dari latar belakang ekonomi apa pun akan mendapatkan haknya atas pendidikan yang setara dan berkualitas, tanpa harus mengorbankan kebutuhan dasar keluarga lainnya. Pemerintah harus mampu menjadikan dana pendidikan ini sebagai solusi untuk menghapus ketidaksetaraan akses pendidikan, bukan justru menciptakan beban tambahan bagi masyarakat.
Pendidikan gratis berkualitas tidak lagi menjadi mimpi jika pemerintah mampu memanfaatkan dana APBD 20% secara optimal. Pengelolaan yang baik akan membawa manfaat besar bagi para siswa dan wali murid, terutama di kalangan ekonomi menengah ke bawah yang selama ini sering terpinggirkan oleh biaya pendidikan yang tinggi. Ini bukan hanya soal angka anggaran, tetapi juga soal bagaimana mewujudkan keadilan sosial di sektor pendidikan.
Pada akhirnya, APBD 20% untuk pendidikan harus dimaknai sebagai sebuah janji kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dengan perencanaan yang baik dan pengelolaan yang transparan, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar bebas biaya dan berkualitas, sehingga tidak ada lagi anak yang tertinggal hanya karena keterbatasan ekonomi. Mari kita dorong bersama pemerintah untuk mengambil langkah nyata dalam merealisasikan janji ini. Pendidikan adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa, dan setiap anak berhak untuk mendapatkannya tanpa hambatan.
Penulis : Dr.Idi Jang Cik,M.Kom (Dosen dan Pemerhati Kebijakan Publik)