GlobalNewsIndonesia.com, BUKITTINGGI - Pemko Bukittinggi, Sumatera Barat seolah tidak mempunyai dasar yang kuat mensertifikatkan tanah seluas 33.972 m2 untuk pembangunan RSUD Bukittinggi di kawasan Jl by pass, Gulai Bancah kota setempat. Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 22 Tahun 2017 itu "mencaplok" tanah warga bernama Soni Efendi.
Dengan demikian, tentunya Soni Efendi tidak terima tanah keluarganya masuk dalam SHP tersebut sehingga dirinya menggugat Pemko Bukittinggi ke PTUN Padang. Hasil gugatan, ternyata dimenangkan Soni dengan bukti pada 30 Oktober 2019, PTUN Padang mengeluarkan keputusan nomor 19/G/2019/PTUN.PDG, intinya membatalkan SHP Nomor 22 Tahun 2017, seluas 33.972 m2 atas nama Pemko Bukittinggi.
Selanjutnya, berdasarkan keputusan PTUN Padang itu, memerintahkan SHP atas nama Pemko yang diterbitkan BPN Bukittinggi segera dibatalkan namun pihak tergugat tidak langsung menjalankan akan tetapi mengajukan banding ke PTTUN Medan.
Seiring waktu berjalan, pembangunan RSUD terus belanjut, tetapi pengerjaan fisik yang selama ini telah masuk batas areal tanah Soni terpaksa dihentikan. Tepatnya Pemko Bukittinggi tidak berani melanjutkan pembangunan fisik RSUD yang sebelumnya telah dibangun di atas tanah Soni.
"Saya telah sampaikan kepada Bapak Walikota untuk tidak melanjutkan pembangunan di atas tanah masyarakat yang kini masih berperkara," ujar Kepala DKK Bukittinggi, Yandra Ferry kepada media ini di ruang kantornya, Selasa (18/7).
Ia katakan, meskipun pengerjaan tidak dilanjut melewati batas tanah warga tersebut, namun tidak menganggu kelanjutan pembangunan RSUD.
"Memang tidak dilanjutkan pembangunan yang melewati batas tanah warga tersebut dan kami juga belum mengetahui keputusan pengadilan. Jika pengerjaan dilanjut ternyata warga pemilik tanah memenangkan perkaranya bagaimana pertanggungjawaban uang negara. Jadi, sementara ini cukup pagar pembangunan RSUD didirikan di batas tanah saja," katanya.
Yandra juga menyingggung perkara tanah tersebut yang kini masih bergulir di tingkat Makamah Agung, Jakarta. Ia katakan, sebetulnya perkara tersebut lebih tepatnya dibidangi oleh Bagian Hukum Pemko.
"Saya sebetulnya di pembangunan RSUD hanya teknis, sementara, lebih mengetahui soal gugat menggugat atau perkara masuk ke ranah hukum adalah bagian hukum Pemko," sebutnya.
| Baja juga :https://www.globalnewsindonesia.com/2020/07/pengumuman-tak-diindahkan-kuasa-hukum.html
Tanah Dibangunnya RSUD juga Milik Warga ?
Ditanya, selain pemilik tanah Soni atau suku Guci, kini masih berperkara, ada isu dua kaum lagi yang mengaku berhak atas tanah tepat dibangunan RSUD, menurut Yandra, sah-sah saja.
"Sah-sah saja ada warga yang mengklaim begitu dan itu merupakan hak warga. Jika ada yang mengaku demikian, silakan langsung ajukan ke PBN," jawabnya.
Terkait surat pernyataan cikal bakal lahirnya SHP yang diajukan Sekda Bukittinggi, Yuen Karnova dengan nomor surat 02/ PKS/ SJ/ 2016 dan nomor 180/ 06/ Huk-A/ 2016 tanggal 19 April 2016 ke BPN hanya menunjukkan batas tanah Timur, Barat, Utara dan Selatan ditandai dengan tanda bintang (*), kata Yandra, sejak awal pembangunan RSUD tidak ada warga yang mempermasalahkan.
"Ya, buktinya awal pengukuran dan penunjukkan batas-batas tanah hingga berdirinya bangunan RSUD saat ini, tidak ada warga yang menuntut menunjukkan hak atau batas tanah mereka. Yang pasti, berdirinya bangunan RSUD di atas tanah hibah kementerian PU," jelasnya.
Terpisah, Soni Efendi mengatakan, jika benarjika benar tanah pembangunan RSUD tersebut milik Pemko Bukittinggi berdasarkan sertifikat yang dimilikinya, kenapa tidak berani melanjutkan pembangunan hingga seluas tanah yang tertera dalam SHP nya itu.
"Buktinya pembangunan itu dikerjakan hanya sebatas tanah
saya. Padahal di SHP Pemko itu termasuk di dalamnya tanah saya seluar 7.000 M2.
Jadi, saya katakan, ucapan Anggota DPR RI Ade Rosade usai sidang lapangan
dengan PTUN beberapa waktu dimana tanah yang masuk dalam SHP merupakan
"perampokan" tanah warga benar adanya," sebut Soni di Gulai Bancah, Kamis (20/7).
Ia lanjutkan, diawal pengukuran tanah, dirinya mengaku mendapatkan undangan dari Pemko , akan tetapi dihari yang ditentukan dalam undangan tersebut pihak pengundang tidak datang ke lokasi.
"Bukan kami tidak hadir saat pengukuran untuk penunjukkan
batas-batas tanah, tapi pihak Pemko dengan alasan tak jelaslah yang tidak datang," tandasnya. (an)