Makam Jamalungun: Sepotong Kisah dan Perannya Sebagai Tapal Batas Kesultanan Kota Pinang -->

Iklan Semua Halaman

 


Jika ada yang mendapat intimidasi atau tindakan tidak menyenangkan lainnya dari anggota GNI, silahkan lapor ke redaksigni@gmail.com, untuk pengiriman berita kegiatan kampus, sekolah , sosial kemasyarakatan, lainnya silahkan di nomor center kami


 

 




Makam Jamalungun: Sepotong Kisah dan Perannya Sebagai Tapal Batas Kesultanan Kota Pinang

12/07/2021

 


Globalnewsindonesia.com,- Labusel Sumut- Hampir kisaram sebulan yang lalu (10/11), kami menyempatkan diri untuk melakukan ekspedisi menuju daerah bekas kerajaan - kerajaan bawahan dari Kesultanan Kota Pinang, terkhusus yang berada di daerah terluar kesultanan. 


Ekspedisi kami arahkan menuju sebuah kampung kecil bernama Dusun Siborangan. Dusun ini terletak di jalan lintas Rantauprapat - Janji Manahan. Dusun ini masuk kedalam wilayah administratif Desa Tanjung Sarang Elang, Kec. Bilah Hulu, Kab. Labuhanbatu.


Dan Dusun ini terbagi menjadi dua bagian, yang dipisahkan oleh sungai kecil bernama Aek Nahula, yang bermuara ke Sungai Kanan. Bagian pertama yakni kampung lama yang dari jalan lintas posisinya sedikit keluar dari jalan lintas, dan berada di atas bukit. Sedangkan bagian keduanya merupakan kampung baru yang posisinya di pinggir jalan lintas dan dekat dengan Sekolah Dasar. 




Lokasi kampung lama cukup mencuri perhatian kami. Posisinya tak banyak berubah dari yang ada di peta era kolonial yang kami miliki. Wajar saja, Siborangan sendiri merupakan salah satu kerajaan di bawah Kesultanan Kota Pinang yang rajanya diperkirakan bermarga Dasopang. 


Kemudian kami bergerak untuk mewawancarai beberapa orang warga yang kami harap mampu menceritakan mengenai Dusun Siborangan di Era Prakemerdekaan. 


Namun begitu sulitnya menemukan informasi yang kami cari mengingat banyaknya warga yang mampu menceritakan hal tersebut yang telah wafat. 


Beberapa tetua yang kami wawancarai pun tak mampu menceritakan dan mengaku mereka merupakan pendatang di dusun ini (datang setelah era kemerdekaan). 


Adapun yang dapat mereka ceritakan yakni mengenai legenda Datu Nalobi Dasopang Banualahi yang memang ceritanya cukup familiar di kalangan masyarakat bermarga Dasopang. 


Hingga suatu kesempatan saya bertanya mengenai situs yang memiliki nilai sejarah di daerah ini, salah seorang tetua menyebutkan makam Jamalungun dan sedikit kisahnya.


Dimana "KISAH JAMALUNGUN", Tetua tersebut menceritakan kisah Jamalungun. Alkisah Jamalungun merupakan salah seorang raja yang memerintah di Siborangan dan sekitarnya.


Beliau merupakan orang yang sangat sakti dan memiliki ukuran badan yang sangat tinggi, yang sangat berbeda dari lazimnya ukuran badan masyarakat saat itu. Hingga suatu ketika beliau bertemu dengan seorang gadis yang rupawan dan jatuh hati dengannya. 


Begitu terpananya, Jamalungun hendak menemui ayah dari sang gadis untuk meminang putrinya. Ketika bertemu dengan sang ayah, Jamalungun terkejut bahwa orang yang dijumpainya adalah sesosok makhluk halus (begu).


Jamalungun juga tak menyangka bahwa selama ini dirinya terpikat dengan seorang jelmaan begu. Namun kenyataan ini tak menyurutkan niat Jamalungun untuk memperistri gadis pujaan hatinya. 


Niat ini hampir kandas dengan jawaban sang ayah yang sama sekali putrinya tak ridho untuk dinikahi oleh manusia. Pernikahan antar ‘makhluk’ dianggap sang ayah tak etis dan dapat mendatangkan kesialan di kemudian hari. 


Jamalungun yang hatinya telah dibutakan oleh cinta terus memperjuangkan cintanya hingga berujung pada pertempuran. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan manusia, yang dipimpin oleh Jamalungun, dengan pasukan begu, yang dipimpin oleh ayah sang gadis. 


Pertempuran heroik yang cukup berdampak pada kehilangan nyawa dan materi, akhirnya dimenangkan oleh Jamalungun. 


Dan Jamalungun berhak memperistri putri dari sang begu dan bersumpah untuk tidak mengizinkan istrinya untuk pulang bahkan sekedar menjumpai ayahnya. Tidak diketahui lagi bagaimana kelanjutan kisah mereka. Bahkan mengenai kisah mengapa beliau dinamai “Jamalungun” tidak diketahui. 


Hingga di kemudian hari, sampailah ajal Jamalungun. Beliau dimakamkan bersama keris, pernak-pernik dan anjing kesayangannya dalam satu liang kubur. Ada satu anekdot yang berkembang di masyarakat Siborangan mengenai Jamalungun. 


Meskipun makamnya terlihat panjang (pengukuran kasar dari Tim Ekspedisi makam berdimensi 12x8 meter), ukuran badan Jamalungun sangat tinggi hingga beliau sendiri harus dikubur dalam posisi dilipat-lipat agar muat di dalam kuburan. 


Sumber lain juga menyatakan makam Jamalungun tidak digali, melainkan dibuat urukan tanah yang tinggi sehingga terlihat seperti bukit. Baru beberapa tahun belakangan ada warga yang berinisiatif untuk memberi keramik di tepian makam. 


PERAN MAKAM JAMALUNGUN SEBAGAI TAPAL BATAS KESULTANAN KOTA PINANG

Kami sendiri sebenarnya sudah cukup lama memperhatikan keberadaan makam ini, melalui peta era kolonial yang kami miliki. Kami cukup terusik mengenai apa hal yang istimewa pada makam ini sehingga disebutkan dalam peta tersebut. 


Kemudian kami mencoba melakukan penelitian literatur dan didapatkanlah bahwa makam ini dulunya sempat menjadi penanda (tapal) batas antara kerajaan-kerajaan yang berada di daerah tersebut. 


Sampai tahun 1881, tidak ada batas yang jelas mengenai antara Kesultanan Kota Pinang (di daerah bawahannya, Kerajaan Siborangan) dengan Kerajaan Si Langge (kerajaan kecil di bawah pemerintahan Hindia Belanda langsung). Terjadi saling klaim di sana sini sejak era Sultan Mustafa Gelar Yang diPertuan Besar Kota Pinang dengan Sutan Muda dari Si Langge. Persengketaan ini berlanjut sampai mangkatnya Sultan Mustafa dan digantikan oleh Sultan Ismail Yang diPertuan Nansati. 


Kemudian oleh kedua kerajaan ini dibawalah kasus persengketaan ini ke Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan pada tanggal 29 Oktober 1881 dikeluarkanlah Gouvernementbesluit (Peraturan Pemerintah) No 25 Tahun 1881 yang isinya kira-kira berbunyi: “ Batas antara Si Langge dan Kota Pinang, dimulai dari Binanga Sipaung di hulu Sungai Kanan, garis lurus menuju ke timur laut sampai ke hulu Aek Sosopan. Kemudian menyusuri hilir Aek Sosopan ke timur sampai muaranya di Aek Nail (Janji Manahan). 


Dari Janji Manahan menyusuri perbukitan yang baru dibuat jalan menuju arah utara sampai ke MAKAM JAMALUNGUN. Dari makam Jamalungun ditarik garis lurus ke barat laut menuju kampung Cita Kesandung.


Berikutnya dari kampung Cita Kesandung ditarik garis lurus ke timur laut menuju kampung Aekbatu. Dari kampung Aekbatu ditarik garis lurus ke arah barat laut menuju Tor Jaginendangan dan berhenti di situ.”  Tor Jaginendangan sendiri merupakan titik temu batas antara Kesultanan Kota Pinang, Kerajaan Si Langge dan Kerajaan Simundol.


Maka disini dapat disimpulkan bahwa Makam Jamalungun selain memiliki kisah menarik didalamnya, juga berfungsi sebagai tapal batas antara Kesultanan Kota Pinang melalui daerah bawahannya Kerajaan Siborangan dan Kerajaan Si Langge. (MH)


Sumbet: Iqra Harahap dari KJ-SWIB LABUSEL